Sabtu, 27 November 2010

Karakteristik batubara di Cekungan Bengkulu

Karakteristik batubara di Cekungan Bengkulu

Rachmat Heryanto dan Suyoko
Pusat Survei Geologi, Jl. Diponegoro No. 57, Bandung
 
Sari
Cekungan Bengkulu dikenal sebagai cekungan busur muka yang berlokasi di bagian barat daya Pulau Sumatera. Cekungan Bengkulu ditempati oleh batuan silisiklastik, batubara, dan karbonat berumur Oligosen – Miosen. Batubara yang merupakan salah satu energi alternatif sebagai pengganti hidrokarbon, dijumpai dalam batuan sedimen Formasi Lemau yang berumur Miosen Tengah sampai Akhir, seperti yang teramati di daerah Ketaun, Bengkulu, dan Seluma. Ketebalan lapisan batubara di daerah Ketaun berkisar antara 50 sampai 200 cm, sedangkan di daerah Bengkulu berkisar antara 100 - 350 cm, dan di daerah Seluma dapat mencapai 450 cm.
Secara megaskopik lapisan batubara di daerah Ketaun berwarna hitam agak kusam (dull – dull banded) dengan gores warna hitam kecoklatan, sementara itu lapisan batubara di daerah Bengkulu dan Seluma menunjukkan warna hitam mengkilap (bright banded) dengan gores warna hitam. Lapisan batubara di daerah Ketaun mempunyai nilai reflektan vitrinit rata-rata (Rv) antara 0,41 - 0,49%, sedangkan lapisan batubara di daerah Bengkulu dan Seluma nilai reflektan vitrinit rata-rata (Rv) batubara berkisar antara 0,44 - 1,12%. Tingginya reflektan vitrinit pada batubara daerah Bengkulu dan Seluma diduga akibat pengaruh terobosan sill andesit.
Secara umum, lapisan batubara di daerah Ketaun terbentuk di lingkungan yang relatif lebih ke arah laut atau limited influx clastic marsh atau lower delta plain, dengan kerapatan pepohonan yang berkurang. Sebaliknya lapisan batubara daerah Bengkulu dan Seluma, secara umum relatif lebih ke arah darat atau telmatic atau upper delta plain atau wet forest swamp dengan kerapatan pepohonan bertambah.
Kata kunci: Batubara, vitrinit, Formasi Lemau, Cekungan Bengkulu

Abstract
Bengkulu Basin is known as a fore arc basin, which located in the southwestern part of Sumatera Island. Bengkulu Basin is occupied by Oligo-Miocene siliciclastic, coal, and carbonate sediments. Coal, one of alternative energies which can substitute hydrocarbon, is found within the sedimentary rocks of the Middle to Upper Miocene Lemau Formation as observed in Ketaun, Bengkulu, and Seluma areas. The thickness of the coal seams in the Ketaun area ranges from 100 to 200 cm, whereas in the Bengkulu area it varies between 100 to 350 cm, and in Seluma area up to 450 cm.
Megascopically, coal seams in the Ketaun area are black in colour, dull to dull banded, with brownish black in streak, whereas in the Bengkulu and Seluma areas show a black colour, bright banded, and black streak. The mean of vitrinite reflectant value (Rv) of coal seam in the Ketaun area ranges from 0.41 to 0.49%, whereas in the Bengkulu and Seluma area it varies from 0.44 to 1.12%. The higher vitrinite reflectance of the Bengkulu and Seluma coals is probably due to the influence of andesitic sill intrusion.
In general, the coal in the Ketaun area was deposited in an environment of relatively more to marine direction or limited influx clastic marsh or lower delta plain, where the tree density decreased. However, the coal in the Bengkulu and Seluma areas occurred in an environment which was relatively more to land direction or telmatic, or upper delta plain or wet forest swamp, where the tree density increased.
Keywords: Coal, vitrinite, Lemau Formation, Bengkulu Basin


 Pendahuluan
Cekungan Bengkulu merupakan salah satu cekungan batuan sedimen Tersier di Pulau Sumate-ra yang termasuk ke dalam cekungan busur muka (Gambar 1). Pada saat ini, produksi minyak bumi mulai berkurang, sehingga eksplorasi batubara di bumi Indonesia mulai dilakukan sebagai energi alternatif.
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian sumber daya minyak bumi di Cekungan Bengkulu, Provinsi Bengkulu yang merupakan salah satu kegiatan penelitian di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (sekarang Pusat Survei Geologi) tahun 2005. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karateristik batubara di Cekungan Bengkulu. Penelitian dilakukan di daerah Ketaun yaitu di hulu Sungai Sebayur dan daerah Tanjungdalam. Di daerah sekitar Bengkulu yaitu di daerah Tabapenanjung (PT Danau Mas Hitam & PT Bukit Sunur), dan di daerah Seluma yaitu di area pertambangan batubara PT Bukit Bara Utama dan PT Bukit Indah Lestari. 

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Provinsi Bengkulu, Sumatera.

Penelitian lapangan dilaksanakan dengan metode penampang terperinci dan terukur, serta pengamatan terperinci, yang difokuskan pada sejumlah horizon pembawa batubara. Penelitian laboratorium yang terdiri atas petrologi organik, dilakukan selain untuk mengetahui kandungan material organik, juga untuk mengidentifikasi jenis dan karakteristik batubara, serta maseral penyusunnya. Perhitungan maseral dalam petrografi organik, mempergunakan alat penghitung titik (point counter) dengan jumlah 500 pengukuran, kemudian dihitung persentasi setiap maseral seperti yang tersaji dalam Tabel 1. Pengukuran reflektan vitrinit setiap percontoh batubara dilakukan sebanyak lima puluh pengukuran, kemudian dihitung nilai rata-ratanya.
Hasil analisis petrografi organik (Tabel 1) direkalkulasi menjadi GI (Gelification Index), TPI (Tissue Preservation Index), T (telovitrinit: telinit + telokolinit), F (fusinit + semifusinit), dan D (dispersed organic mater: inertodetrinit + sporinit + alginit), yang tersaji dalam Tabel 2. GI adalah vitrinit





 


 semifusinit + inertodetrinit + skleronit, sementara itu TPI adalah telovitrinit + semifusinit/detrovitrinit + gelovitrinit + inertodetrinit + sklerotinit.
Diagram segitiga fasies DTF (Diessel, 1982) dan diagram GI versus TPI (Diessel, 1986 dan Lamberson drr., 1991) dibuat untuk mengetahui lingkungan pengendapan batubara Cekungan Bengkulu yang merupakan tujuan penelitian ini, di samping karakteristik batubara.
Geologi Cekungan Bengkulu telah banyak dipublikasikan oleh penulis-penulis terdahulu, antara lain Gafoer drr. (1992), Amin drr. (1994), Yulihanto drr. (1995), Guntoro dan Djajadiharja (2005), dan Heryanto (2005, 2006a,b dan 2007a,b)


Geologi Regional

Lajur Barisan (Formasi Hulusimpang, batuan terobosan dalam, Formasi Bal, Formasi Ranau, dan batuan gunung api) dan Lajur Bengkulu (Formasi Seblat, Lemau, Simpangaur, dan Bintunan, serta satuan batuan gunung api Kuarter) merupakan ke-lompok batuan yang menempati daerah Bengkulu. Penyebaran batuan dan kolom stratigrafi Cekungan Bengkulu tersaji dalam Gambar 2 dan 3.
Formasi Hulusimpang (lava, breksi gunung api, dan tuf) yang berumur Oligosen-Miosen Awal merupakan batuan tertua yang tersingkap di daerah Bengkulu. Bagian atas formasi ini menjemari dengan bagian bawah Formasi Seblat (perselingan batulempung, batulempung gampingan, batulanau dengan sisipan batupasir, dan konglomerat) yang berumur Miosen Awal sampai Tengah. Batuan terobosan dalam (granit dan diorit) yang berumur Miosen Tengah menerobos Formasi Hulusimpang dan Formasi Seblat (Gafoer drr., 1992; dan Amin drr., 1994).
Formasi Lemau (batulempung, batulempung gampingan, batubara, batupasir, dan konglomerat) yang berumur Miosen Tengah - Akhir menindih secara tak selaras Formasi Seblat (Yulihanto drr., 1995). Kemudian Formasi Lemau tertindih secara tak selaras oleh Formasi Simpangaur (batupasir konglomeratan, batupasir, batulumpur mengandung cangkang moluska, dan batupasir tufan) berumur Miosen Akhir – Pliosen, dan terendapkan di daerah transisi.
Formasi Bintunan (batuan tufan, konglomerat polimik, tuf, dan batulempung tufan dengan sisipan lignit, dan sisa tumbuhan) berumur Plio-Plistosen, yang terendapkan di lingkungan air tawar sampai payau dan setempat laut dangkal, menindih tak selaras Formasi Simpangaur (Gafoer drr., 1992), sedangkan menurut Yulihanto drr. (1995; Gambar 3) bagian bawah Formasi Bintunan tersebut menjemari

 
 

dengan bagian atas Formasi Simpangaur. Formasi Bintunan setara dengan Formasi Ranau yang ter-singkap di Lembar Manna (Amin drr., 1994), terdiri atas breksi gunung api berbatuapung dan tuf riolitik-andesitik. Breksi gunung api tampak berwarna kekuningan, lunak, tidak berlapis, berkomponen kepingan batuapung dan lava andesit-basal di dalam matriks tuf pasiran (Amin drr.,1994). Kemudian satuan batuan yang termuda adalah aluvium yang terdiri atas bongkah, kerakal, pasir, lanau, lumpur, dan lempung.

Batubara

Lapisan batubara di Cekungan Bengkulu dijum-pai dalam Formasi Lemau. Formasi Lemau terdiri atas batulempung, batulempung gampingan, batubara, batupasir, dan konglomerat, berumur Miosen Tengah – Atas, dan terendapkan di daerah transisi sampai laut dangkal. Formasi Lemau tersingkap baik mulai dari daerah utara di daerah Ketaun sampai dengan daerah Manna. Lapisan batubara teramati di daerah Ketaun, Bengkulu, dan Seluma (Gambar 2). Hasil analisis petrografi organik dari batubara di daerah Bengkulu tersaji dalam Tabel 1.

Daerah Ketaun
Lapisan batubara di daerah Ketaun teramati di daerah Sungai Sebayur dan Tanjungdalam. Di daerah ini bagian atas Formasi Lemau terdiri atas perseling-an batupasir, batulempung, dan batubara. Runtunan batuan sedimen di daerah Sebayur ini terlihat dari inti bor (core) Titik Bor CMBH 31 dengan kedalam-an 81 m (Gambar 4). Tiga lapisan batubara (lapisan A, B, dan C; Gambar 4 dan 5) dijumpai dalam bagian atas Formasi Lemau di daerah ini.
Ketebalan lapisan batubara di daerah Ketaun berkisar antara 50 sampai 200 cm, dengan sifat fisik warna hitam, kusam (dull-dull banded), gores coklat kehitaman, ringan. Secara petrografi organik contoh batubara di daerah ini tersusun atas kelompok maseral vitrinit (72,2 - 89,6%) yang terdiri atas telokolinit (38,6 - 68,6%), detrovitrinit + desmokolinit (19,2 - 46,4%), dan gelokolinit + korpokolinit (1,0 - 3,6%). Kandungan maseral eksinit berkisar antara 0,4 sampai 2,0% yang seluruhnya terdiri atas resinit, sedangkan kandungan maseral inertinit adalah 4,6 - 19,2%, yang terdiri atas fusinit (0 - 3,2%), semifusinit (0,6 - 12,4%), sklerotinit (1,4 - 3,6%), dan inertodetrinit (2,0 - 3,4%). Adapun material mineral yang dijumpai dalam batubara di daerah ini adalah mineral lempung (0 - 2,4%), pirit framboid (0 - 1,8%), pirit normal (0,4 - 1,8%), dan mineral karbonat (0 - 0,6%). Nilai reflektan vitrinit rata-rata (Rv) berkisar antara 0,41 dan 0,49%, dengan nilai reflektan minimum 0,35 - 0,44% dan nilai reflektan maksimum 0,46 - 0,54% (Tabel 1).
Runtunan batuan sedimen pembawa batubara di daerah Ketaun tersaji dalam Gambar 4. Dijumpainya lapisan batupasir dalam runtunan ini menunjukkan lingkungan pengendapan runtunan ini dipengaruhi oleh saluran. Adanya fosil foram pada batupasir menunjukkan saluran tersebut terletak dalam lingkungan laut atau pengaruh lingkungan laut. Dijumpainya sedimen klastika halus dengan struktur sedimen laminasi sejajar menunjukkan lingkungan dataran banjir atau pasang surut ikut mempengaruhi lingkungan pengendapan bagian bawah runtunan sedimen pembawa batubara. Adanya kandungan mineral pirit framboidal dan karbonat pada lapisan batubara (Tabel 1), menunjukan adanya pengaruh lingkungan laut pada waktu pembentukan batubara. Data tersebut menunjukkan bahwa lingkungan yang cocok untuk pengendapan sedimen pembawa batubara adalah lingkungan deltaik.

Daerah Bengkulu
Lapisan batubara di daerah Bengkulu teramati di daerah Tabapenanjung yaitu di daerah penambangan batubara PT Danau Mas Hitam. Secara umum runtunan batuan sedimen pembawa batubara di daerah ini terdiri atas Satuan Batupasir dengan sisipan batulempung dan batubara di bagian bawah dan Satuan Batulempung dengan sisipan batupasir dan batubara di bagian atas. Di beberapa tempat dijumpai sill andesit. Secara umum, lapisan batubara yang dijumpai di daerah ini ada tiga lapisan, lapisan pertama di atas sill andesit dengan ketebalan batubara 3,5 m. Lapisan kedua dan ketiga di bawah sill andesit, dengan ketebalan sill berkisar antara 6 sampai 41 m, sedangkan lapisan batubara berkisar antara 1 - 3,5 m. Runtunan batuan sedimen pembawa batubara yang tidak terpengaruh oleh sill andesit tersaji dalam Gambar 6, sedangkan runtunan yang terpengaruh oleh sill andesit dapat dilihat dalam Gambar 7.

 Gambar 4. Kolom stratigrafi inti bor di daerah Sebayur, Ketaun



Penampakan fisik dari lapisan batubara di daerah ini adalah warna hitam, mengkilap (bright-bright banded), gores warna hitam, ringan, dan pecahan konkoidal. Penampakan di lapangan batubara yang tidak terpengaruh oleh sill andesit adalah seperti terlihat dalam Gambar 8, sedangkan batubara yang terpangaruh olen sill andesit akan menghasilkan kokas dan berstruktur meniang pada bagian kontaknya (Gambar 9). Di beberapa tempat dijumpai ada resin dengan diameter fragmen 1-3 cm (Gambar 10)
Secara mikroskopis, batubara di daerah Bengkulu tersusun oleh kelompok maseral vitrinit (88,8
Gambar 4. Kolom stratigrafi inti bor di daerah Sebayur, Ketaun.- 98,4%), terdiri atas telokolinit (56,6 - 85,2%), detrovitrinit + desmokolinit (12,2 - 30,2%), dan : gelokolinit + korpokolinit (0 - 2,0%). Sementara itu kandungan maseral eksinit berkisar antara 0,6 sampai 1,0% yang seluruhnya terdiri atas resinit. Selanjutnya kandungan maseral inertinit adalah 0 - 6,8%, yang terdiri atas fusinit (0 - 0,4%), semifusinit (0 - 3,8%), sklerotinit (0 - 1,4%), dan inertodetrinit (0 - 1,6%). Adapun material mineral yang dijumpai dalam batubara di daerah ini adalah mineral lempung (0 - 1,0%) dan pirit normal (0 - 3,0%). Nilai reflektan vitrinit rata-rata (Rv) berkisar antara 0,44 dan 0,96 %, dengan nilai reflektan minimum 0,37 -

 
0,56% dan nilai reflektan maksimum 0,48 - 1,32% (Tabel 1). Tingginya nilai reflektan dikarenakan oleh adanya sill andesit. Hal ini terlihat dari nilai reflektan rata-rata percontoh batubara yang tidak terpengaruh oleh sill andesit (05RH50I) yang












diambil dari lokasi 05RH50 di Talang Segimin dengan kolom yang tersaji dalam Gambar 6, dan mempunyai nilai reflektan vitrinit rata-rata 0,44%. Sementara itu contoh batubara yang terpengaruh oleh sill andesit (05RH52B) yang diambil dari lokasi 05RH52 (Gambar 7) menunjukkan nilai reflektan vitrinit rata-rata 0,78%, dan pada daerah kontaknya menghasilkan kokas (Gambar 7 dan 10).
Runtunan batuan sedimen pembawa batubara di daerah Bengkulu (Gambar 7) menunjukkan bahwa batubara di daerah ini berasosiasi dengan batupasir berbutir sedang sampai kasar, di beberapa tempat batupasir ini menunjukkan struktur sedimen silang siur dan lapisan bersusun, hal ini mengindikasikan bahwa runtunan batuan sedimen pembawa batubara terendapkan dalam lingkungan yang berhubungan dengan saluran (sungai) atau dalam lingkungan fluviatil. Dijumpainya fragmen resin dalam batubara, menunjukkan adanya pepohonan besar penghasil getah dalam pembentukan batubara. Hal ini ditunjang oleh hasil analisis petrografi organik bahwa batubara di daerah ini tidak mengandung mineral pirit framboid dan mineral karbonat, yang mengindikasikan bahwa pembentukan batubara di daerah ini tidak berhubungan dengan lingkungan laut. Dengan demikian batubara di daerah ini terbentuk di lingkungan darat.
Daerah Seluma
Penelitian batubara di daerah Seluma dilakukan di area pertambangan PT Bukit Bara Utama (BBU)
Gambar 9. Foto singkapan kokas (K) merupakan hasil kontak batubara dengan terobosan sill andesit porfir (AN). Tersingkap di lokasi 05RH51.
Gambar 10. Foto singkapan batubara yang memperlihat kilap seperti logam (BB), diperkirakan karena efek terobosan sill andesit pofir, mengandung resin (R). Tersingkap di lokasi 05RH51.dan Bukit Indah Lestari (BIL). Runtunan batuan sedimen pembawa batubara tersusun oleh batu pasir kasar sampai konglomeratan, batupasir kasar dengan struktur sedimen butiran tersusun (graded bedding) dan lapisan silang-siur, dan batupasir halus - sedang yang menunjukkan lapisan sejajar dan mengandung jejak binatang (burrow), seperti yang tersaji dalam Gambar 11. Di atas perselingan tersebut dijumpai batubara lapisan C dengan ketebalan 3,25 m dan mengandung interseam batulempung warna kelabu kecoklatan dengan ketebalan 5 - 15 cm, sedangkan lapisan B dijumpai di bawah runtunan tersebut dengan ketebalan 4,5 m yang juga mengandung interseam batulempung (5-15 cm) dan memperlihatkan cleat yang baik (Gambar 12). Di beberapa tempat dijumpai adanya fragmen resin.
Sifat fisik batubara di daerah ini adalah warna hitam, mengkilap (bright banded), gores hitam dengan pecahan konkoidal, dan ringan. Secara petrografis, organik batubara di daerah ini tersusun oleh kelompok maseral vitrinit (87,4 - 99,0%) yang terdiri atas telokolinit (48,8 - 78,2%), detrovitrinit + desmokolinit (17,0 - 35,6%), dan gelokolinit + korpokolinit (0 - 3,0%). Sementara itu kandungan kelompok maseral eksinit berkisar antara 0 sampai 1,4% yang seluruhnya terdiri atas resinit. Selanjutnya kandungan kelompok maseral inertinit adalah 0,4 - 8,8%, yang terdiri semifusinit (0 - 2,6%), sklerotinit (0,4 - 4,6%), dan inertodetrinit (0 - 1,6%). Adapun material mineral yang dijumpai dalam batubara di daerah



ini adalah mineral lempung (0 - 0,2%), dan pirit normal (0,6 - 2,4%). Nilai reflektan vitrinit rata-rata (Rv) berkisar antara 0,50 dan 1,12%, dengan nilai reflektan minimum 0,40 - 0,98% dan nilai reflektan maksimum 0,62 - 1,20% (Tabel 1).
Nilai reflektan vitrinit mempunyai kisaran yang cukup besar yaitu mulai dari 0,50% sampai dengan 1,12%. Hal ini karena adanya terobosan sill andesit, seperti terlihat pada lokasi 05RH101 (Gambar 11). Batubara (05RH101B) di daerah ini tidak terpengaruh oleh terobosan sill andesit, mempunyai nilai reflektan vitrinit 0,50% (Tabel 1). Sementara itu, pada lokasi 05RH107 (Gambar 13) yang batubaranya (05RH107A) terpengaruh oleh terobosan sill andesit mempunyai nilai reflektan vitrinit 1,12% (Tabel 1).
Dijumpainya lapisan batupasir berbutir sedang sampai kasar, yang memperlihatkan struktur sedimen silang-siur dan butiran tersusun, menunjukkan bahwa lingkungan pengendapan batuan sedimen pembawa batubara sangat dipengaruhi oleh saluran





 (channel). Adanya batupasir berbutir halus dengan struktur sedimen laminasi sejajar menunjukkan bahwa dataran banjir mempengaruhi lingkungan
pengendapan batuan sedimen pembawa batubara. Dengan demikian lingkungan pengendapan yang cocok untuk lapisan batuan sedimen pembawa batubara adalah lingkungan sungai (fluviatil). Tidak dijumpainya mineral pirit framboid dan mineral karbonat menunjukkan bahwa lingkungan laut tidak mempengaruhi pembentukan batubara di daerah ini. Dijumpainya fragmen resin pada batubara menunjukkan pepohonan besar (rain forest) adalah salah satu pembentuk batubara di daerah ini. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa batubara di daerah ini terbentuk dalam lingkungan darat.

Diskusi
Lapisan batubara di Cekungan Bengkulu teramati di daerah Ketaun, Bengkulu, dan Seluma yang dijumpai dalam Formasi Lemau. Secara megaskopik, lapisan batubara di daerah Ketaun berwarna hitam agak kusam (dull – dull banded) dengan gores warna hitam kecoklatan, sementara itu lapisan batubara di daerah Bengkulu dan Seluma menunjukkan warna hitam mengkilap (bright banded) dengan gores warna hitam. Keadaan tersebut dikarenakan adanya pengaruh terobosan sill andesit pada lapisan batubara di daerah Bengkulu dan Seluma, yang menyebabkan lapisan batubara di daerah Ketaun mempunyai nilai reflektan vitrinit rata-rata (Rv) antara 0,41 dan 0,49%, dengan nilai reflektan minimum 0,35-0,44% dan nilai reflektan maksimum 0,46 - 0,54 % (Tabel 1). Sementara nilai reflektan vitrinit rata-rata (Rv) lapisan batubara di daerah Bengkulu berkisar antara 0,44 dan 0,96%, dengan nilai reflektan minimum 0,37 - 0,56 % dan nilai reflektan maksimum 0,48 - 1,32% (Tabel 1). Lapisan batubara yang tidak terpengaruh terobosan sill andesit mempunyai nilai reflektan vitrinit rata-rata 0,44%. Adapun lapisan batubara di daerah Seluma mempunyai nilai reflektan vitrinit rata-rata (Rv) berkisar antara 0,50 dan 1,12%, dengan nilai reflektan minimum 0,40 - 0,98% dan nilai reflektan maksimum 0,62 - 1,20% (Tabel 1). Lapisan batubara yang tidak terpengaruh terobosan sill andesit mempunyai nilai reflektan vitrinit rata-rata 0,50 %.
Runtunan batuan sedimen pembawa batubara di daerah Ketaun menunjukkan lingkungan pengendap-an yang dipengaruhi oleh laut, yaitu lingkungan delta. Hal ini ditunjang oleh hasil analisis petrografi organik dengan dijumpainya mineral pirit framboid dan adanya mineral karbonat. Sementara itu, runtunan batuan sedimen pembawa batubara di daerah Bengkulu dan Seluma menunjukkan lingkungan pengendapan fluviatil atau darat, yang juga ditunjang oleh hasil analisis petrografi organik dengan tidak dijumpainya mineral pirit framboid dan mineral karbonat. Penampakan di lapangan juga ditunjang oleh adanya resin dalam batubara yang menunjukkan bahwa pembentukan batubara di daerah ini dipengaruhi oleh pepohonan besar (rain forest).
Hasil analisis petrografi organik (Tabel 1), kemudian direkalkulasi menjadi GI (Gelification Index), TPI (Tissue Preservation Index), T (telovitrinit : telinit + telokolinit), F (fusinit + semifusinit), dan D (dispersed organic mater : inertodetrinit + sporinit + alginit), yang tersaji dalam Tabel 2. GI adalah vitrinit/semifusinit + inertodetrinit + sklerotinit, sementara itu TPI adalah telovitrinit + semifusinit / detrovitrinit + gelovitrinit + inertodetrinit + sklerotinit.
Diagram segitiga fasies Diessel (1982), seperti yang terlihat pada Gambar 14, menunjukkan bahwa batubara Cekungan Bengkulu termasuk dalam fasies Wet Forest Swamp. Secara umum, batubara di daerah Ketaun relatif lebih ke arah limnic dari pada batubara daerah Bengkulu dan Seluma. Sementara itu diagram fasies Diessel (1986) dan Lamberson drr., (1991) seperti tersaji dalam Gambar 15, menunjukkan bahwa dua percontoh batubara dari daerah Ketaun termasuk ke dalam fasies limnic atau termasuk dalam limited influx clastic marsh, atau termasuk lower delta plain. Dalam fasies limnic ini kerapatan pepohonannya berkurang, sedangkan ke arah fasies telmatic kerapatan pepohonannya bertambah. Sementara itu, percontoh batubara lainnya dari daerah Bengkulu, Ketaun, dan Seluma termasuk ke dalam fasies telmatic. Dari percontoh batubara yang termasuk telmatic, satu percontoh batubara dari daerah Bengkulu dan satu percontoh batubara dari derah Seluma termasuk ke dalam wet forest swamp atau termasuk ke dalam fasies upper delta plain.
Data tersebut di atas menunjukkan bahwa secara umum batubara di daerah Ketaun terbentuk di lingkungan yang relatif lebih ke arah laut atau limnic atau limited influx clastic marsh atau lower delta plain, yang kerapatan pepohonannya berkurang. Sebaliknya batubara dari daerah Bengkulu dan Seluma,
secara umum relatif lebih ke arah darat atau telmatic atau upper delta plain atau wet forest swamp di mana kerapatan pepohonannya bertambah.

Kesimpulan
Lapisan batubara di Cekungan Bengkulu, yang dijumpai dalam Formasi Lemau berumur Miosen Tengah, teramati di daerah Ketaun, Bengkulu, dan Seluma. Ketebalan lapisan batubara di daerah Ke-taun berkisar antara 50 sampai 200 cm, sedangkan di daerah Bengkulu antara 100 - 350 cm, dan di daerah Seluma dapat mencapai 450 cm.
Secara megaskopik, lapisan batubara di daerah Ketaun berwarna hitam agak kusam (dull – dull banded) dengan gores warna hitam kecoklatan, sementara itu lapisan batubara di daerah Bengkulu dan Seluma menunjukkan warna hitam mengkilap (bright banded) dengan gores warna hitam. Lapisan batubara di daerah Ketaun mempunyai nilai reflektan vitrinit rata-rata (Rv) antara 0,41 dan 0,49%, sedang






sedangkan lapisan batubara di daerah Bengkulu dan Seluma nilai reflektan vitrinit rata-ratanya (Rv) berkisar antara 0,44 dan 1,12%. Keadaan tersebut karena bahwa adanya pengaruh terobosan sill andesit pada lapisan batubara di daerah Bengkulu dan Seluma.
Secara umum, batubara di daerah Ketaun terbentuk di lingkungan yang relatif lebih ke arah laut






atau limnic atau limited influx clastic marsh atau lower delta plain, di mana kerapatan pepohonannya berkurang. Sebaliknya batubara dari daerah Bengkulu dan Seluma, secara umum relatif lebih ke arah darat atau telmatic atau upper delta plain atau wet forest swamp di mana kerapatan pepohonannya bertambah.
Ucapan Terima Kasih---Ucapan terima kasih terutama ditujukan kepada Kepala Pusat Survei Geologi yang telah memberikan dukungan mulai dari penelitian lapangan sampai dengan penulisan makalah ini. Selain itu ucapan terima kasih juga ditujukan kepada rekan sejawat yang telah memberikan kritik, saran, dan diskusi mengenai makalah ini.

Acuan
Amin, T.C, Kusnama, Rustandi, E., dan Gafoer, S., 1994. Geologi Lembar 
    Manna dan Enggano, Sumatera, Skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan   
    Pengembangan Geologi, Bandung.
Diessel, C.F.K., 1982. An appraisal of coal facies based on maceral 
    characteristics. Australian Coal Geology, 4 (2), h.474-484.
Diessel, C.F.K., 1986. On the correlation between coal fasies and depositional 
    environment. Proceedings 20th Symposium of Department Geology, 
    University of New Castle, New South Wales, h.19-22.
Gafoer, S., Amin, T.C., dan Pardede, R., 1992. Geologi Lembar Bengkulu, 
    Sumatera Skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 
    Bandung.
Guntoro, A., dan Djajadiharja, Y.S., 2005. Tectonic Scenario of the Sumatra 
    Fore-Arc Basin in Relation To the Formation of Petroleum Systems. 
    International Conference on Geology, Geotechnology and Mineral Recources 
    of Indochina (GEOINDO 2005), Khon Kaen, Thailand.
Heryanto, R., 2005. Laporan Penelitian Sumber Daya Hidrokarbon di Cekungan 
    Bengkulu, Bengkulu. Pusat Penelitian Pengembangan Geologi, Badan 
    Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Laporan Internal).
Heryanto, R., 2006a. Karakteristik Formasi Seblat di Daerah Bengkulu Selatan. 
    Jurnal Sumber Daya Geologi, 16, h. 179-195.
Heryanto, R., 2006b. Provenance batupasir Formasi Lemau di Cekungan 
   Bengkulu., Seminar Nasional Geologi Indonesia: ”DINAMIKA DAN   
   PRODUKNYA”. Pusat Survei Geologi, Bandung, 5-6 Desember 2006.
Heryanto, R., 2007a. Diagenesis Batupasir Formasi Lemau di Cekungan  
   Bengkulu dan Potensinya sebagai Batuan Reservoar Hidrokarbon. Mineral dan    Energi, 5, h. 58-70.
Heryanto, R., 2007b. Hubungan antara diagenesis, reflektan vitrinit, dan  
   kematangan batuan pembawa hidrokarbon batuan Sedimen Miosen di 
    Cekungan Bengkulu. Jurnal Geologi Indonesia, 2, h. 101-111.
Heryanto, R. dan Panggabean, H., 2006. The Tertiary Source Rock Potential of 
    the Bengkulu Basin. Jakarta2006 International Geosciences Conference and 
    Exhibition. Jakarta, 14-16 Agustus 2006.
Lamberson, M.N., Bustin, R.M., dan Kalkreuth, W.D., 1991. Lithotype 
   (maceral)   composition and variation as correlated with paleo-wetland 
   environment, Gates Formation, northeastern British Columbia, Canada. 
   International Jurnal of Coal Geology, 18, h.67-124.
Yulihanto, B., Situmorang, B., Nurdjajadi, A., dan Sain, B. 1995. Structural 
   Analysis of the onshore Bengkulu Forearc Basin and Its Implication for Future
   Hydrocarbon Exploration Activity. Proceedings, Indonesian Petroleum 
   Association Twenty Fourth Annual Convention, October 1995.


Tulisan ini diambil dari sumber : Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 No. 4 Desember 2007: 247-259

Minggu, 21 November 2010

Kemungkinan keterdapatan hidrokarbon di Cekungan Bengkulu

Kemungkinan keterdapatan hidrokarbon di Cekungan Bengkulu

Rachmat Heryanto
Pusat Survei Geologi, Jln. Diponegoro No. 57 Bandung

Sari
Cekungan Bengkulu dikenal sebagai cekungan busur muka yang berlokasi di bagian barat daya Pulau Sumatera. Cekungan ini ditempati oleh satuan batuan setara Formasi Lahat berumur Eo-Oligosen, yang ditindih tidak selaras oleh batuan gunung api Formasi Hulusimpang berumur Oligo-Miosen. Kemudian diikuti oleh batuan silisiklastika dan sedikit karbonat Formasi Seblat berumur Miosen Awal - Tengah. Secara tidak selaras Formasi Seblat ditindih oleh batuan silisiklastika Formasi Lemau berumur Miosen Tengah-Akhir, kemudian diikuti oleh Formasi Simpangaur berumur Miosen Akhir - Pliosen. Proses pengendapan ini diakhiri oleh hadirnya batuan gunung api Formasi Bintunan/Ranau.
Hasil analisis petrografi batuan sedimen dan organik, Scanning Electron Microscope (SEM) dan geokimia (TOC, rock-eval pyrolysis, dan gas kromatografi) pada beberapa percontoh batuan terpilih dari singkapan batuan dan rembesan minyak yang dikoleksi selama pekerjaan lapangan, mengindikasikan bahwa hidrokarbon mungkin terdapat di Cekungan Bengkulu. Diduga hadir sebagai batuan sumber/induk adalah batuan sedimen klastika halus karbonan Formasi Seblat dan Lemau. Sebagai batuan waduk adalah batupasir Formasi Seblat dan Formasi Lemau serta batugamping Formasi Seblat. Sementara itu sebagai batuan penutup adalah lapisan batulempung baik dalam Formasi Seblat maupun Formasi Lemau. Adapun tipe cebakan hidrokarbon yang mungkin terjadi adalah stratigrafi dan struktur.
Kata kunci: batuan induk, batuan waduk, hidrokarbon, Cekungan Bengkulu, Sumatera

Abstract
The Bengkulu Basin is known as a typical fore-arc basin, situated in the southwest of Sumatera Island. The basin was occupied by the Eo-Oligocene equivalent Lahat Formation that is unconformably overlain by the Oligocene-Miocene volcanic rock of Hulusimpang Formation. It is then succeeded by siliciclastics and few carbonates of Early-Middle Miocene Seblat Formation. Unconformably overlies the Seblat Formation is siliciclastics of the Middle-Late Miocene Lemau Formation, followed by the Late Miocene-Pliocene Simpangaur Formation. The deposition was ended by a typical volcanic rock of the Bintunan/Ranau Formation.
The results of sedimentary rock and organic petrographic, scanning electron microscopic and geochemistry (TOC & rock-eval and gas chromatography) analyses conducted on several selected surface outcrop samples and some oil seepage samples collected during the field work, indicate that hydrocarbon is possibly present in the Bengkulu Basin. A source rock possibly occurs in fine-grained carbonaceous sediments of the Seblat and Lemau Formations. The reservoir rock is possibly the sandstone bed of the Lemau Formation and the sandstone and limestone beds of the Seblat Formation. The caprock is a claystone bed present within the Seblat Formation as well as in the Lemau Formation. The hydrocarbon trap probably occurs as stratigraphic and structural types.
Keywords: source rock, reservoir rock, hydrocarbon, Bengkulu Basin, Sumatera

Pendahuluan
Cekungan Bengkulu merupakan salah satu cekungan batuan sedimen Tersier di Pulau Suma-tera yang termasuk ke dalam cekungan busur muka (Gambar 1). Selama ini cekungan Tersier di Indonesia yang banyak menghasilkan minyak bumi adalah yang termasuk ke dalam cekungan busur belakang. Pada saat ini, produksi minyak bumi yang dihasilkan dari cekungan busur belakang mulai berkurang, 

Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian di Provinsi Bengkulu, Sumatera 

sehingga eksplorasi minyak bumi di Indonesia mulai diarahkan ke daerah cekungan di busur muka.
Penelitian sumber daya minyak bumi di Cekung-an Bengkulu, Provinsi Bengkulu merupakan salah satu kegiatan penelitian di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (sekarang Pusat Survei Geologi) tahun 2005. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui mutu dan potensi batuan sumber dan batuan waduk serta perkiraan bentuk cebakan hidrokarbon di daerah penelitian. Mutu dan potensi batuan sumber dapat diketahui dengan meneliti jenis dan kematangan termal bahan organik tertentu sebagai sumber hidrokarbon.
Penelitian lapangan dilaksanakan dengan metode penampang terukur dan pengamatan terperinci, yang difokuskan pada sejumlah horizon pembawa hidrokarbon, yaitu pada lapisan batuan klastika halus yang kaya akan bahan organik (organic-rich fine clastics), dan batuan waduk yaitu lapisan batuan klastika kasar seperti batupasir yang mempunyai porositas cukup besar, baik porositas primer maupun sekunder. Penelitian laboratorium terdiri atas petrologi batuan sedimen dan organik, dan juga analisis dengan alat Scanning Electron Microscope (SEM). Penelitian tersebut dilakukan selain untuk mengetahui kandungan material organik, juga untuk mengidentifikasi jenis dan karakteristik batuan waduk, yaitu mineral penyusun, diagenesis, porositas, baik primer ataupun sekunder. Untuk mengetahui potensi hidrokarbon, dilakukan analisis TOC dan Rock-Eval Pyrolysis.

Geologi Regional
Daerah Bengkulu ditempati oleh batuan yang termasuk dalam Lajur Barisan (Formasi Hulusimpang, batuan terobosan dalam, Formasi Bal, Formasi Ranau, dan batuan gunung api) dan Lajur Bengkulu (Formasi Seblat, Lemau, Simpangaur, dan Bintunan, serta satuan batuan gunung api Kuarter). Penyebaran batuan tersebut tersaji dalam Gambar 2 dan kolom stratigrafi Cekungan Bengkulu seperti terlihat dalam Gambar 3.
Geologi Cekungan Bengkulu telah banyak dipublikasikan oleh penulis-penulis terdahulu, di antaranya adalah Gafoer drr. (1992), Amin drr. (1994), Yulihanto drr. (1995), Guntoro dan Djajadiharja (2005), dan Heryanto (2005, 2006a,b & 2007a,b)


Batuan tertua yang tersingkap di daerah ini adalah Formasi Hulusimpang (lava, breksi gunung api, dan tuf) yang berumur Oligosen - Miosen Awal. Bagian atas formasi ini menjemari dengan bagian bawah Formasi Seblat (perselingan batulempung, batulempung gampingan, batulanau dengan sisipan batupasir dan konglomerat) yang berumur Miosen Awal sampai Tengah. Batuan terobosan dalam (granit dan diorit) yang berumur Miosen Tengah menerobos Formasi Hulusimpang dan Formasi Seblat (Gafoer drr., 1992; dan Amin drr., 1994).
Formasi Lemau (batulempung, batulempung gampingan, batubara, batupasir, dan konglomerat), yang berumur Miosen Tengah-Akhir dan terendapkan di daerah transisi sampai laut dangkal menindih secara tak selaras Formasi Seblat (Yulihanto drr., 1995). Kemudian Formasi Lemau yang tertindih secara tak selaras oleh Formasi Simpangaur (batupasir konglomeratan, batupasir, batulumpur mengandung cangkang moluska dan batupasir tufan), berumur Miosen Akhir – Pliosen, dan terendapkan di daerah transisi.
Formasi Bintunan (batuan tufan, konglomerat polimik, tuf, dan batulempung tufan dengan sisipan lignit dan sisa tumbuhan) berumur Plio-Plistosen, yang terendapkan di lingkungan air tawar sampai payau dan setempat laut dangkal, menindih tak selaras Formasi Simpangaur (Gafoer drr., 1992), sedangkan menurut Yulihanto drr. (1995; Gambar 3) bagian bawah Formasi Bintunan tersebut menjemari dengan bagian atas Formasi Simpangaur. Formasi Bintunan setara dengan Formasi Ranau yang ter-singkap di Lembar Manna (Amin drr., 1994), terdiri atas breksi gunung api berbatuapung dan tuf riolitik-andesitik. Breksi gunung api tampak berwarna kekuningan, lunak, tidak berlapis, berkomponen kepingan batuapung dan lava andesit-basal di dalam matriks tuf pasiran (Amin drr.,1994). Kemudian satuan batuan yang termuda adalah aluvium yang terdiri atas bongkah, kerakal, pasir, lanau, lumpur, dan lempung.

Keterdapatan Hidrokarbon
Keterdapatan hidrokarbon di suatu daerah dapat ditentukan oleh batuan induk atau batuan pembawa hidrokarbon (source rock), batuan waduk atau batuan penyimpan hidrokarbon, batuan penutup (cap rock), dan kondisi geologi yang membentuk cebakan hidrokarbon.

Batuan Induk
Batuan induk atau batuan pembawa hidrokarbon (source rock) adalah batuan tempat hidrokarbon secara alami dapat terbentuk. Batuan ini merupakan batuan sedimen klastika halus yang terdiri atas serpih dan batulumpur, berwarna kelabu gelap sampai hitam, berlembar sampai berlaminasi, setempat berstruktur sedimen laminasi sejajar dan kaya akan material organik, yang pada umummya terendapkan dalam lingkungan lakustrin. Untuk menentukan kualitas batuan induk dilakukan analisis geokimia yang terdiri atas analisis TOC (Karbon Organik Total) dan Rock-Eval Pyrolysis. Selain itu, analisis petrografi organik sangat diperlukan untuk mengetahui kandungan material organik dan untuk menentukan kuantitas dari maseral pembawa hidrokarbon. Analisis batuan induk dilakukan pada percontoh batuan Formasi Seblat (Gambar 4) dan Formasi Lemau (Gambar 5). Hasil analisis tersebut tersaji dalam Tabel 1 dan 2. Analisis juga dilakukan pada rembesan minyak di Kampung Padangcapo (Heryanto dan Panggabean, 2006; Gambar 2).
Kualitas batuan induk tercermin pada hasil analisis geokimia seperti yang tersaji dalam Tabel 1. Diagram PY (Pyrolysis Yield/Jumlah hidrokarbon) versus TOC (Rad, 1984; Gambar 6), menunjukkan sepuluh percontoh (Formasi Lemau) dari tiga puluh dua percontoh batuan yang dianalisis (Tabel 1), termasuk ke dalam kategori sangat baik/excellent (PY: 21,07 - 188,88 kg/ton percontoh batuan), sementara empat percontoh batuan (Formasi Lemau) termasuk ke dalam kategori baik/good (PY: 9,78 - 15,27 kg/ton percontoh batuan). Delapan percontoh batuan (dua percontoh Formasi Lemau dan enam percontoh batuan Formasi Seblat) termasuk ke dalam kategori cukup (fair), dengan nilai PY 2-5 kg/ton percontoh batuan. Sisanya termasuk ke dalam kategori miskin (<2 kg/ton percontoh batuan). Diagram ini juga menunjukkan bahwa percontoh batuan yang dianalisis terletak pada batas antara oil prone dan gas prone.
Diagram temperatur maksimum (Tmax) versus Hidrogen Indeks (HI) seperti yang terlihat dalam Gambar 7, menunjukkan tipe kerogen yang ter










bentuk dalam percontoh batuan yang dianalisis. Tiga percontoh batuan bahan organiknya termasuk ke dalam kerogen tipe I yang jika sudah matang sebagian besar akan menjadi minyak (oil). Tujuh belas percontoh batuan mengandung kerogen tipe II yang jika sudah matang akan menjadi oil dan gas. Enam percontoh batuan mempunyai kerogen tipe III yang sebagian besar akan menjadi gas jika sudah matang. Enam percontoh batuan lainnya tidak termasuk ke dalam ketiga tipe tersebut. Diagram ini juga menunjukkan sebagian percontoh batuan yang dianalisis termasuk dalam tingkat belum matang akhir (Formasi Lemau) sampai dengan matang awal (Formasi Seblat) dengan temperatur maksimum berkisar antara 415 sampai dengan 455o Celcius, sedangkan enam percontoh batuan termasuk dalam kategori pascamatang.
Kematangan batuan induk tercerminkan pada nilai reflektan vitrinit (Rv) material organik (DOM) yang tersebar dalam batuan induk. Hasil analisis petrografi organik menunjukkan bahwa nilai reflektan vitrinit (Rv) yang terkandung dalam batuan induk berkisar antara 0,37 % sampai 0,50% (Tabel 2). Berdasarkan diagram korelasi umum indeks kematangan organik (Kantsler drr., 1978), kematangan hidrokarbon pada batuan tersebut berada pada tingkat belum matang akhir (late immature) sampai matang awal (early mature). Diagram ini juga menunjukkan bahwa paleotemperatur maksimum pada waktu pembentukan hidrokarbon dari kerogen mencapai 80o C. Kematangan hidrokarbon tersebut diakibatkan oleh penimbunan (burial) pada kedalaman sampai 2000 m.
Hasil analisis kromatografi gas percontoh batuan induk 05RH101D (Formasi Lemau), menunjukkan kematangan termal matang rendah atau matang awal. Sementara itu hasil analisis kromatografi gas pada percontoh rembesan minyak (05SY47) menunjukkan bahwa minyak telah biodegraded kategori sedang dan berasal dari batuan induk yang matang. Dengan demikian, rembesan minyak tersebut diperkirakan bukan berasal dari batuan induk Formasi Lemau (Heryanto dan Panggabean, 2006).

Batuan Waduk
Batuan waduk (reservoir rock) adalah batuan tempat hidrokarbon terakumulasi. Batuan waduk ini umumnya merupakan batuan sedimen klastika kasar, mempunyai porositas dan permeabilitas yang baik, dan juga mempunyai volume yang cukup besar. Pada umumnya, yang bertindak sebagai batuan induk adalah batupasir dan batugamping. Batuan tersebut di Cekungan Bengkulu dijumpai dalam Formasi Seblat dan Lemau. Porositas merupakan faktor utama yang menentukan kualitas batuan waduk, sedangkan proses diagenesis sangat mempengaruhi kualitas porositas batuan Formasi Lemau dan Seblat (Heryanto, 2006a, 2007a,b).
Porositas sekunder yang teramati umumnya adalah pelarutan kepingan batuan gunung api dan juga pelarutan butiran felspar yang jumlahnya kurang dari 5%, dan terjadi hanya pada sebagian butiran (Gambar 8 dan 9). Porositas sekunder ini meningkatkan kualitas batuan waduk.
Proses diagenesis menunjukkan bahwa batuan waduk dalam Formasi Seblat lebih kompak daripada Formasi Lemau, tetapi dengan adanya pembentukan porositas sekunder, persentase porositas Formasi Seblat meningkat. Porositas batuan Formasi Seblat adalah 0-9,4% dengan nilai rata-rata 3,63%, sedangkan Formasi Lemau berkisar dari 3-5% dengan nilai rata-rata 3,73%. Dengan demikian kualitas batupasir Formasi Lemau relatif hampir sama dengan batu-pasir Formasi Seblat (Heryanto, 2006a, 2007a).
Batugamping dijumpai sebagai sisipan dalam Formasi Seblat, dan tersusun oleh ganggang merah, bryozoa, echinodermata, koral, foraminifera bentonik dan plantonik, brachiopoda, moluska, kuarsa, felspar, kepingan batuan dan gloukonit, dengan massa dasar lumpur karbonat dan lempung, ortosparit, dan oksida besi. Proses diagenesis pada batugamping tersebut dicirikan dengan terbentuknya lempung autigenik, mikrosparit, pseudosparit, lumpur mikrit, pirit, dan dolomit. Sementara itu, porositas yang teramati adalah dalam partikel, antarpartikel, gerowong (vug) dan retakan, dengan nilai porositas kurang dari 3%. Batugamping ini juga merupakan salah satu batuan waduk (reservoir).
Berdasarkan analisis petrografi dan SEM, batuan yang baik untuk batuan waduk adalah batupasir serta batugamping Formasi Seblat (Gambar 4) dan batupasir Formasi Lemau (Gambar 5).

Batuan Penutup
Batuan penutup (caprock) adalah batuan sedimen berbutir halus yang kedap air. Batuan ini berperan





sebagai penutup dan pencegah hidrokarbon yang sudah terakumulasi dalam batuan waduk bermigrasi ke tempat lain. Batuan yang dapat menjadi batuan penutup adalah batulempung yang pejal dan kedap air. Batuan seperti ini di daerah penelitian dijumpai sebagai sisipan, baik dalam Formasi Seblat (Gambar 4) ataupun Formasi Lemau Gambar 5). Batuan ini berasosiasi dengan batupasir yang diperkirakan dapat bertindak sebagai batuan waduk atau reservoir dalam Formasi Lemau. Batuan penutup ini peranannya sangat berhubungan erat dengan bentuk cebakan minyak, atau dengan perkataan lain, bahwa batuan penutup merupakan bagian dari sistem cebakan minyak itu sendiri (oil play).


Cebakan Hidrokarbon
Cebakan hidrokarbon adalah kondisi geologi setempat yang dapat membentuk cebakan hidrokarbon, dan hidrokarbon yang telah bermigrasi dari batuan induk terperangkap dalam batuan waduk. Kondisi geologi yang dapat menunjang cebakan hidrokarbon adalah stratigrafi dan struktur geologi. Stratigrafi adalah posisi satuan batuan terhadap satuan lainnya, sedang struktur geologi adalah perubahan kondisi dari satuan batuan akibat tektonik. Struktur geologi terdiri atas lipatan dan sesar. Lipatan dan sesar banyak dijumpai di daerah penelitian. Arah sumbu lipatan yang terdapat dalam batuan sedimen di Cekungan Bengkulu berarah barat laut – tenggara, sejajar dengan arah Pulau Sumatera.

Diskusi
Batuan yang memungkinkan bertindak sebagai batuan induk di Cekungan Bengkulu adalah batuan sedimen klastika halus mengandung bahan organik yang terdapat dalam Formasi Seblat dan Lemau. Diagram Indeks Hidrogen (HI) versus Temperatur maksimum (Tmax; Gambar 7) menunjukkan bahwa batuan induk pada Formasi Seblat lebih matang dari pada Formasi Lemau. Hal ini juga ditunjang oleh nilai reflektan vitrinit (Rv) batuan induk Formasi Lemau, yaitu 0,39-0,55% yang menunjukkan kematangan organik belum matang akhir sampai matang awal, dan kematangan tersebut terjadi pada kedalaman lebih dari 2000 m. Sementara itu, batuan yang memungkinkan bertindak sebagai batuan waduk adalah batupasir dan batugamping Formasi Seblat, dan juga batupasir Formasi Lemau.
Diagenesis yang terjadi pada batuan induk tersebut terjadi pada kedalaman antara 2000-3000 m (Heryanto 2006a, 2007a,b). Data tersebut di atas sesuai dengan hasil pemboran Arwana 1 di lepas pantai Bengkulu (Gambar 10; Guntoro dan Djajadiharja, 2005), yang menunjukkan bahwa posisi matang awal batuan induk terjadi mulai di kedalaman 2300 m, dan oil shows dijumpai pada batuan klastika vulkanik dan batugamping dolomitan di kedalaman








2988-3092 m dalam suatu formasi setara Formasi Baturaja (setara dengan Formasi Seblat).
Kemungkinan hidrokarbon terdapat dalam cebakan stratigrafi dan struktur. Hal ini terlihat pada hasil interpretasi seismik SO 137-09A (Gambar 11; Guntoro dan Djajadiharja, 2005) yang memperlihatkan lapisan sedimen Pratersier cukup tebal dengan perlipatan yang kuat disertai sesar. Keha-dirannya merupakan batuan dasar (basement) bagi runtunan batuan sedimen Tersier. Batuan sedimen tertua adalah Lapisan Paleogen (A), yang ekuivalen dengan Formasi Lahat (Gambar 3), namun tidak ditemukan di permukaan. Lapisan Paleogen ditindih oleh Lapisan Miosen Awal-Tengah (B) yang merupakan kelanjutan Formasi Seblat. Lapisan di atasnya adalah Lapisan Miosen Akhir (C) yang merupakan kelanjutan Formasi Lemau. Selanjutnya Lapisan C ditindih oleh Lapisan Pliosen (D) yang merupakan kelanjutan Formasi Simpangaur. Lapisan teratas adalah lapisan Kuarter. Dari lintasan seismik tersebut terlihat adanya perlipatan dan sesar dalam lapisan-lapisan batuan sedimen Tersier, dengan arah sumbu lipatan barat laut – tenggara, sejajar dengan arah Pulau Sumatera. Di antara lipatan dan sesar tersebut diharapkan ada yang merupakan cebakan hidrokarbon, dengan batuan waduk terdiri atas batupasir Formasi Lemau maupun batupasir/batugamping Formasi Seblat.

Kesimpulan
Kemungkinan keterdapatan hidrokarbon di Cekungan Bengkulu adalah cukup besar. Hal ini ditunjukkan oleh keterdapatan batuan induk/sumber hidrokarbon pada batuan sedimen klastika halus mengandung bahan organik dalam Formasi Seblat dengan kandungan hidrokarbon buruk sampai sedang (0,48-4,89 kg/ton percontoh batuan), dan pada Formasi Lemau dengan kandungan hidrokarbon buruk sampai sangat baik (0,04 – 188,88 kg/ton percontoh batuan). Kematangan batuan induk

berkisar antara belum matang akhir sampai matang awal. Selain itu juga dijumpainya rembesan minyak di Kampung Padangcapo.
Sebagai batuan waduk (resevoir rock) adalah batupasir dan batugamping Formasi Seblat, dan juga batupasir Formasi Lemau. Sebagai batuan penutup adalah lapisan batulempung yang terdapat dalam Formasi Seblat atau Formasi Lemau, bergantung pada posisi batuan waduk itu berada. Adapun cebakan hidrokarbon yang mungkin terjadi adalah cebakan stratigrafi ataupun juga cebakan struktur.
Ucapan Terima Kasih---Ucapan terima kasih terutama ditujukan kepada Kepala Pusat Survei Geologi yang telah memberikan dukungan, mulai dari penelitian lapangan sampai dengan penulisan makalah ini. Selain itu, ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Dr. H. Panggabean atas kritik dan sarannya, serta rekan sejawat yang telah memberikan kritik, saran, dan diskusi mengenai makalah ini.

Acuan
Amin, T.C, Kusnama, Rustandi, E., dan Gafoer, S., 1994. Geologi Lembar Manna dan Enggano, Sumatera, 
        Skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Gafoer, S., Amin, T.C., dan Pardede, R., 1992. Geologi Lembar Bengkulu, Sumatera, Skala 1:250.000. 
        Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Guntoro, A., dan Djajadiharja, Y.S., 2005. Tectonic Scenario of the Sumatra Fore-Arc Basin in Relation To 
       the Formation of Petroleum Systems. International Conference on Geology, Geotechnology and Mineral
       Recources of Indochina (GEOINDO 2005), Khon Kaen, Thailand.
Heryanto, R., 2005. Laporan Penelitian Sumber Daya Hidrokarbon di Cekungan Bengkulu, Bengkulu. Pusat
       Penelitian Pengembangan Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral 
       (Laporan Internal).
Heryanto, R., 2006a. Karakteristik Formasi Seblat di Daerah Bengkulu Selatan. Jurnal Sumber Daya
       Geologi, 16, h. 179-195.
Heryanto, R., 2006b. Provenance batupasir Formasi Lemau di Cekungan Bengkulu., Seminar Nasional
       Geologi Indonesia:”DINAMIKA DAN PRODUKNYA”. Pusat Survei Geologi, Bandung, 5-6 
       Desember 2006.
Heryanto, R., 2007a. Diagenesis Batupasir Formasi Lemau di Cekungan Bengkulu dan Potensinya sebagai 
       Batuan Reservoar Hidrokarbon. Mineral dan Energi, 5, h. 58-70.
Heryanto, R., 2007b. Hubungan antara diagenesis, reflektan vitrinit, dan kematangan batuan pembawa
       hidrokarbon batuan Sedimen Miosen di Cekungan Bengkulu. Jurnal Geologi Indonesia, 2, h. 101-111.
Heryanto, R. dan Panggabean, H., 2006. The Tertiary Source Rock Potential of the Bengkulu Basin. 
       Jakarta2006 International Geosciences Conference and Exhibition. Jakarta, 14-16 Agustus 2006.
Kantsler, A.J., Cook, A.C., and Smith, G.C., 1978. Rank variation, calculated paleotemps in understanding
       oil, gas occurrence. Oil and Gas Journal, h. 196-205.
Rad, F.K., 1984. Quick Look Source Rock Evaluation By Pyrolysis Technique. Proceedings 13th Annual 
       Convention Indonesian Petroleum Association, h.113-124.
Yulihanto, B., Situmorang, B., Nurdjajadi, A., dan Sain, B., 1995. Structural Analysis of the onshore 
       Bengkulu Forearc Basin and Its Implication for Future Hydrocarbon Exploration Activity. Proceedings 
       24th Annual Convention Indonesian Petroleum Association, October 1995.


Diambil dari sumber : Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 No. 3 September 2007: 119-131






Cekungan Bengkulu


Cekungan Bengkulu
Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia. Cekungan forearc artinya cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik (fore - arc; arc = jalur volkanik). Tetapi, kita menyebutnya demikian berdasarkan posisi geologinya saat ini. Apakah posisi tersebut sudah dari dulu begitu? Belum tentu, dan inilah yang harus kita selidiki. Publikasi-publikasi dari Howles (1986), Mulhadiono dan Asikin (1989), Hall et al. (1993) dan Yulihanto et al. (1995)—semuanya di proceedings IPA baik untuk dipelajari soal Bengkulu Basin.
Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan Barisan (dalam hal ini adalah volcanic arc-nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra pada Miosen Tengah. Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu adalah bahwa sebelum Misoen Tengah berarti tidak ada forearc basin Bengkulu sebab pada saat itu arc-nya sendiri tidak ada.
Begitulah yang selama ini diyakini, yaitu bahwa pada sebelum Miosen Tengah, atau Paleogen, Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik, Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah, Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan Cekungan Sumatera Selatan menjadi cekungan backarc (belakang busur).

Setting tektonik regional Sumatra (sumber: http://en.wikibooks.org/wiki/File:Sumatra_map.jpg)
Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera Selatan dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu. Dapat diamati bahwa pada Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama. Keduanya mengembangkan sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan Sumatera Selatan saat itu ada graben-graben Jambi, Palembang, Lematang, dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera Selatan, dibuktikan oleh berkembangnya terumbu-terumbu karbonat yang masif pada Miosen Atas yang hampir ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat (para operator yang pernah bekerja di Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi juga). Pada saat yang sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak diendapkan sedimen-sedimen regresif  (Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara Enim/Middle Palembang) karena cekungan sedang mengalami pengangkatan dan inversi.
Secara tektonik, mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan Bengkulu—yaitu Cekungan Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara Cekungan Sumatera Selatan sedang terangkat. Karena pada Neogen, Cekungan Bengkulu menjadi diapit oleh dua sistem sesar besar yang memanjang di sebelah barat Sumatera, yaitu Sesar Sumatera (Semangko) di daratan dan Sesar Mentawai di wilayah offshore, sedikit di sebelah timur pulau-pulau busur luar Sumatera (Simeulue-Enggano). Kedua sesar ini bersifat dextral. Sifat pergeseran (slip) yang sama dari dua sesar mendatar yang berpasangan (couple strike-slip atau duplex) akan bersifat trans-tension atau membuka wilayah yang diapitnya. Dengan cara itulah semua cekungan forearc di sebelah barat Sumatera yang diapit dua sesar besar ini menjadi terbuka oleh sesar mendatar (trans-tension pull-apart opening) yang mengakibatkan cekungan-cekungan ini tenggelam sehingga punya ruang untuk mengembangkan terumbu karbonat Neogen yang masif asalkan tidak terlalu dalam.
Di cekungan-cekungan forearc utara Bengkulu (Mentawai, Sibolga, Meulaboh) pun berkembang terumbu-terumbu Neogen yang masif akibat pembukaan dan penenggelaman cekungan-cekungan ini. Dan, dalam dunia perminyakan terumbu-terumbu inilah yang sejak akhir 1960-an telah menjadi target-target pemboran eksplorasi. Sayangnya, sampai saat ini belum berhasil ditemukan cadangan yang komersial, hanya ditemukan gas biogenik dan oil show (Dobson et al., 1998 dan Yulihanto, 2000—proceedings IPA untuk keterangan Mentawai dan Sibolga Basins).
Cekungan Bengkulu merupakan salah satu dari dua cekungan forearc di Indonesia yang paling banyak dikerjakan operator perminyakan (satunya lagi Cekungan Sibolga-Meulaboh). Meskipun belum berhasil menemukan minyak atau gas komersial, tidak berarti cekungan-cekungan ini tidak mengandung migas komersial. Sebab, target-target pemboran di wilayah ini (total sekitar 30 sumur) tak ada satu pun yang menembus target Paleogen dengan sistem graben-nya yag telah terbukti produktif di Cekungan-Cekungan Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Cekungan Bengkulu akan merupakan harapan pertama untuk penemuan minyak di sistem Paleogennya. Sumur terdalam di cekungan ini yang dibor oleh operator Fina pada tahun 1992 (Arwana-1) menemukan oil shows dan menembus sedimen Oligo-Miosen yang berkualitas baik sebagai batuan induk minyak. Kemudian, berdasarkan data sumur ini pula, diketahui bahwa termal cekungan ini panas (4,5-5 F/100 ft) sebuah anomali bagi “cool basin“—sebutan yang terkenal untuk Cekungan-cekungan forearc.
Gradient geothermal yang besar ini merupakan anomali pada sebuah forearc basin yang rata-rata di Indonesia sekitar 2.5 F/100 ft atau di bawahnya (Netherwood, 2000); Bila dibandingkan cekungan forearc lain, memang banyak publikasi menyebutkan thermal Cekungan Bengkulu di atas rata-rata. Itu pula yang dipakai sebagai salah satu pemikiran bahwa Cekungan ini dulunya bersatu dengan Cekungan Sumatera Selatan (pada Paleogen)—pemikiran yang juga didukung oleh tatanan tektonostratigrafinya.
Gradient geothermal dipengaruhi konduktivitas termal masing-masing lapisan pengisi cekungan dan heatflow dari basement di bawah cekungan. Apabila basementnya kontinen, maka ia akan punya heatflow yang relatif lebih tinggi daripada basement intermediat dan oseanik. Selain itu, kedekatan dengan volcanic arc akan mempertinggi thermal background di wilayah ini dan berpengaruh kepada konduktivitas termal. Gradient geothermal yang diluar kebiasaan ini, tentu saja baik bagi pematangan batuan induk dan generasi hidrokarbon.
Sekuen syn-rift dan post-rift di cekungan ini belum tertembus, di situlah harapan akumulasi migas berada. Diperlukan data seismik yang lebih baik untuk target dalam dan diperlukan sumur-sumur dalam untuk menembus target-target Paleogen. Selain data seismik, rembesan minyak dipermukaan juga menjadi data yang sangat berharga apabila bisa diplot di peta geologi permukaan yang cukup detail, lalu dilihat penampang geologinya. Nanti akan diketahui dari batuan mana rembesan itu berasal. Yang tak kalah penting adalah melakukan serangkaian analisis geokimia kepada rembesan minyak itu, hal ini akan memberi tahu kita sifat batuan induk yang telah menggenerasikan minyak tersebut.
Sejarah tulisan ini:
Tulisan tentang Cekungan Bengkulu ini diawali dari kiriman Pak Awang HS pada medio Maret 2009 di iagi-net yang berupa jawabannya terhadap pertanyaan seorang mahasiswa tentang cara terbentuknya Cekungan Bengkulu. Kiriman ini ditanggapi oleh beberapa orang anggota milis. Dengan demikian, para anggota milis iagi-net yang berkontribusi—baik bertanya maupun menjawab—dalam diskusi mengenai Cekungan Bengkulu ini adalah: Awang HS, Junrial Hairul Huzaen, Bayu Nugroho dan Sigit Prabowo. Terima kasih juga untuk Yorris Wibriana atas informasinya tentang gambar setting tektonik regional Sumatra.
 
sumber dari http://geologi.iagi.or.id/2009/03/22/cekungan-bengkulu/